Minggu, 17 Januari 2010

Hujan dan Angin Besar

Hari kemarin, ahad 17 januari 2010 setelah mengikuti pengajian dalam rangka milad 1 abad Muhammadiyah di Patikraja, saya mengajak istri pergi ke Purwokerto untuk menghadiri undangan pernikahan teman yang sama-sama SK CPNSnya di MTs N Tambak. Kebetulan rumahnya juga dekat dengan rumah Lik Dayat di Teluk jadi sekalian silaturrahmi. Setelah kondangan juga ke kota untuk membeli magic com dan jas hujan untuk adik saya.
Keluar dari toko ternyata sudah gerimis tapi karena waktu sudah pukul 16.00 sedang setengah jam lagi harus mengisi kajian tahsin quran di masjid Fathurrahman Sokawera maka kami tetap pulang. Selama perjalanan ternyata memang hujan besar plus angin yang banyak menjatuhkan dahan dan ranting yang berserakan dijalan. Alhamdulillah akhirnya sampai dirumah hujan sudah tidak besar lagi maka aku bersiap mandi dan setelah mandi ketika sedang ganti baju....(hii porno) ternyata disebelah rumahku pada ribut-ribut ternyata pohon rambutan tetangga yang letaknya berada diatas kamarku yang akarnya bikin rumahku retak-retak ambruk dan alhamdulillah tidak roboh keatas rumah kami tapi kerumah pemiliknya. Setelah sholat aku melihat dan ternyata pemiliknya sedang diatas rumah untuk membuang dahan pohon yang roboh keatas rumahnya. Alhamdulillah rumahnya terbuat dari cor yang kuat sehingga tidak ambruk.
saat itu juga ternyata ada berita disebelah rumah ibuku juga pohon kelapa juga roboh dan alhamdulillah hanya menyerempet rumah tetangga. Selain itu juga tim MDMC Jateng Saudara Tungguh juga memberitahu bahwa di Wangon ada bengkel yang roboh karena tertimpa pohon dan di Kawunganten 8 rumah juga rusak akibat angin besar kemarin.
Dan pagi ini ketika aku sudah di sekolah ada berita dari teman bahwa di Sokawera kemarin 2 orang pengendara sepeda motor tewas tertimpa pohon asem yang roboh ketengah jalan.
Alhamdulillah seminggu yang lalu pohon nangka kami yang condong kerumah tetangga telah kami tebang, mungkin kalau belum ditebang juga akan roboh terkena angin. Dan kami berpikir kami masih punya pohon alba yang dekat rumah orang lain yang kalau memang ada yang mau beli akan kami jual daripada roboh menimpa rumah orang lain.
Mari kita belajar dari alam karena sesungguhnya semua itu adalah dari Tuhan untuk diambil pelajaran dan sebagai peringatan.
Selanjutnya kami PDPM Banyumas atas nama MDMC Banyumas mengumpulkan dan mengirimkan bantuan ke Desa Ujungmanik Kecamatan Kawunganten Cilacap. Disana ada 8 rumah roboh dan ratusan rumah rusak berat dan ringan. Ternyata jalan ke daerah bencana juga sangat sulit medannya kami yang memakai mobil ambulan sangat kesuulitan menempuh perjalanan.

Sabtu, 16 Januari 2010

Menyambut Indonesia Merdeka

Berita RRI yang menyiarkan bahwa Indonesia telah merdeka yang diproklamasikan oleh Dwi Tunggal Soekarno Hatta cepat terdengar ke suluruh pelosok tanah air sampai ke desa-desa bahkan sampai di daerah pegunungan juga.
Kemerdekaan Indonesia benar-benar disambut dengan suka cita segenap rakyat Indonesia yang telah lama mendambakan kebebasan sejak 350 tahun lamanya. Mereka menyambut dengan berbagai acara kegembiraan. Bermacam-macam bentuk olahraga, kesenian dan di gelar hampir di semua desa tidak terkecuali wilayah Patikraja dan sekitarnya.
Selama seminggu sejak 17 Agustus 1945 tak henti-hentinya perhelatan akbar di desa-desa diselenggarakan. Ada yang dalam bentuk perorangan maupun perkumpulan antar penduduk desa. Pokoknya serba meriah walaupun baru lepas kemiskinan dan kesengsaraan, namun dengan semangat yang menyala-nyala disertai rasa bahagia, rakyat Indonesia rela bergotong-royong untuk bersama menyelenggarakan keramaian.
Setiap pintu halaman rumah dibuatkan hiasan gapura berbentuk Croon yaitu gapura sistim Belanda yang biasa dipasang bila rakyat jajahan memperingati kelahiran Ratu Belanda waktu itu. Wujud gapura itu dibuat dari batang bambu setinggi 2 meter, selebar pintu halaman, diberi hiasan dari dedaunan beraneka warna serta janur kuning sebagai pilar gapura. Bentuk croon menyerupai topi mahkota seorang raja. Tetapi puncaknya dipasang dengan megahnya Sang Merah Putih sebagai lambang negara.
Begitu suka cita menyambut kemerdekaan negaranya, penggunaan lencana bendera Jepang ( Matahari terbit) lenyap dari pandangan, berganti dengan lencana merah putih dipasang pada dada kiri, topi atau tutup kepala. Bahannya dari kain pita, logam dan ebonite.pada waktu itu belum dikenal bahan plastic.
Salam perjuangan dan semboyan kemerdekaan dikumandangkan. Setiap hari bila bertemu dengan para pemuda atau tentara kita tentu mengucapkan dengan menggenggam tangan salam “Merdeka” dan mesti dijawab “Tetap Merdeka” atau “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Yang lebih keren lagi salam “Merdeka Bung” dan dijawab dengan “Tetap Merdeka 100%”.
Kata-kata Bung digunakan untuk panggilan bila mana menyapa sesama sebagai ungkapan pribadi pejuang. Di dengar lebih bersemangat bila dibandingkan yang wajar seperti saudara, bapak ataupun panggilan umum lainnya. Setiap ada pertemuan atau rapat pekik Merdeka selalu dilontarkan dengan sambutan yang gegap gempita.
Meluapnya kegembiraan dan rasa kebanggaan dari penduduk mulai muncul aksi corat-coret pada tembok-tembok, bangunan-bangunan, gerbong-gerbong kereta api serta tempat-tempat umum dengan berbagai tulisan besar-besar. Warna merah mendominasi tulisan disertai.gambar-gambar tangan yang berdarah, yang artinya mungkin “Rela berkorban demi tanah air sampai titik darah penghabisan.” Antara lain tulisan itu : “ Merdeka atau Mati, Merdeka 100%, merdeka dari Sabang sampai Merauke, sekali merdeka tetap merdeka.”

Rabu, 13 Januari 2010

Zaman Pendudukan Jepang

Para sesepuh sering mengingatkan kita kepada primbon atau jangka jayabaya. Diantara jangka Jayabaya salah satunya mengatakan : “besuk nuswantoro iki bakal tekan marang jaman kamardikan, yen wis ono tumapake ratu adil cebol kepalang, tekane soko lor wetan suwene mung sa umur jagung.”
Dalam artian bebas kira-kira : Indonesia akan merdeka setelah ada pemerintahan orang kate, yang datang dari Timur Laut. Lama pemerintahannya hanya selama waktu umur jagung (3,5 bulan)
Jangka Jayabaya tadi ternyata benar-benar terbukti dengan datangnya Tentara Dae Nippon (Jepang) menduduki kepulauan Indonesia dalam kurun waktu 3,5 tahun. Bentuk fisik orang Jepang memang masih pendek-pendek, tingginya rata-rata 150-160 cm berkulit kuning.
Sifat dan system militerisme dalam pendudukan Jepang membawa perubahan yang sangat drastis dalam seluruh segi-segi kehidupan. Sejak dari pemerintahan, kependudukan, sosial ekonomi sampai kebudayaan serta bahasa sangat terasa sekali. Banyak timbul masalah sosial yang diderita rakyat banyak.

A. KONDISI PEMERINTAHAN DAN KEAMANAN
Sistem pemerintahan Militer dilaksanakan oleh Pemerintahan Pendudukan jepang dengan sangat keras. Nama jabatan diganti dengan nama istilah bahasa Jepang :
a. Asisten Wedana diganti nama dengan sonco.
b. Wedana/Penghubung Bupati diganti nama dengan gunco.
c. Bupati/Kepala Daerah diganti nama dengan kenco.
Pembentukan kelompok RT sudah dimulai sejak jaman Pendudukan Jepang dengan nama tonarigumi. Ketua Tonarigumi disebut cumico. Istilah kepangkatan militer diganti juga antara lain:
a. Seorang Komandan Regu harus berpangkat Sersan diberi nama Jepang budanco.
b. Komandan Seksi (Danki) yang berpangkat Letnan diganti dengan nama Jepang soudanco.
c. Komandan Kompi harus berpangkat Kapten diganti dengan nama cudanco.
d. Serta Komandan Batalyon berpangkat Mayor diganti nama menjadi : daidanco.
Untuk pertahanan sipil disusun pula barisan semacam hansip yang dikenal dengan nama keybodan (pembantu polisi) serta yang setara dengan hanra dikenal dengan istilah seinendan (barisan pemuda). Di setiap desa ada anggota yang ditunjuk sebagai Seinendan maupun Keybodan dengan latihan militer secara rutin dipimpin oleh tentara Jepang. Persenjataan Seinendan ini menggunakan senjata Bambu runcing.
Di medan perang terutama di garis depan tentara Dae Nippon sangat membutuhkan pasukan yang tidak sedikit untuk menghadapi pasukan musuh Inggris dan Amerika atau Tentara Sekutu.
Tentara Dae Nippon mendidik para pemuda terutama mengambil dari Keybodan dan Seinendan yang memenuhi syarat kesehatan fisiknya dan pendidikannya untuk dilatih menjadi tentara yang disebut heiho. Yang lulus diberangkatkan ke garis depan, medan perang. Yang gagal bukan dikembalikan ke desa asalnya, tetapi dijadikan pekerja paksa yang disebut romusha. Mereka dipekerjakan di luar Jawa. Ada yang ke Kalimantan, Birma dan Malasyia. Banyak diantara mereka tidak pulang ke tanah air karena akibat kerja paksa dan siksaan yang kejam dari Tentara Dae Nippon itu.
Dari wilayah Patikraja ada beberapa orang ex heiho diantaranya Bp. Sikam dari Notog beserta teman-temannya yang terdaftar dalam lampiran berikutnya. Mengingat Pemerintah Kependudukan Jepang hanya memikirkan kepentingan pertahanan untuk menghadapi musuh besarnya, maka pengendali keamanan dalam negeri kurang mendapat perhatian khusus. Maka di sana sini, di desa-desa timbul tindak kejahatan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat berupa Garong, Pencurian, Penodongan dan kejahatan lainnya.
Untuk menanggulangi kejadian-kejadian hanya tergantung kepada kemampuan desa setempat dalam menjaga keamanan desa masing-masing. Namun bila seseorang penjahat dapat tertangkap dan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, tentu di bawa ke kantor kempetai serupa dengan Polisi Tentara untuk diadili. Pengadilan itu biasanya tidak manusiawi. Terdakwa mendapat hukuman penyiksaan di luar perikemanusiaan. Antara lain siksaan di jemur di panas matahari. Dimasukkan ke dalam sel tahanan tanpa diberi makanan yang layak. Atau disiksa dengan pemukulan dan tendangan dari para kempetai.
Sebenarnya Pemerintah Dae Nippon (Jepang) pada awalnya bersikap ramah. Mereka menyebar luaskan ajakan yang simpatik berupa propaganda atau slogan-slogan yang mengajak ke arah persatuan menuju kepada rasa nasional atau kebangsaan. Misalnya slogan yang berbunyi :
- Asia untuk bangsa Asia,
- Nippon cahaya Asia,
- Nippon saudara tua kita,
- Indonesia pasti Merdeka dan lain-lain.
Namun karena makin lama di medan perang selalu menderita kekalahan akibat Amerika Serikat melibatkan diri masuk ke dalam Tentara Sekutu, maka akhirnya Tentara Jepang terdesak dan perlu mempertahankan diri mati-matian. Akibat kegagalan itu, tindakan kasar dan kekerasan dengan sasaran penduduk sebagai pelampiasan kekesalan, dilakukan dimana-mana.
Dengan situasi yang demikian mulailah penduduk kurang simpatik kepada pemerintah pendudukan Jepang itu. Mulai timbul rasa nasionalisme. Masyarakat di seluruh desa diharuskan membuat tempat perlindungan dalam tanah, yang atasnya ditimbuni tanah dan rerumputan agar tidak terdeteksi bila dilihat dari udara. Lubang perlindungan ini semacam bunker untuk berlindung sewaktu ada serangan udara dan pemboman dari musuh yang datang menyerang. Bila sewaktu-waktu ada penyerangan, tentara Dae Nippon membunyikan sirine dan desa-desa yang mendengar raungan sirine yang jaraknya cukup jauh dari kota diwajibkan untuk menyambung tanda bahaya udara itu dengan bunyi kenthongan, suaranya 2 macam kenthong yang satu bernada rendah dan yang satunya lagi bernada tinggi. Sehingga bunyinya menjadi suara yang harmonis : dhung-thong, dhung-thong.
Masyarakat bila mendengar suara dhung-thong atau sirine segera bersiap -siap masuk lubang perlindungan dengan menyumbat lubang telinga dengan kapas dan menggigitkan giginya kepada sepotong karet panahan. Tujuannya mencegah agar tidak mendengar kegaduhan tentara Jepang dan tidak membuka mulut bercakap-cakap bila melihat tentara. Masuk lubang perlindungan dikatakan ; ono dhung-thong hayo mlebu ngerong (ada bahaya mari masuk lubang)
Dhung-thong adalah sebagai siasat atau cara menipu rakyat agar lebih tenang bila sewaktu-waktu ada bahaya, kesibukan tentara Jepang dalam mengatur siasat dan gerakan persiapan perbekalan perang saja.
Tanda bahaya atau bunyi dhung-thong bukan saja pada siang hari, tetapi malam hari pun selalu terdengar tanda bahaya itu. Bila malam hari terdengar tanda bahaya, penduduk dilarang pula ada sinar lampu. Semuanya harus dipadamkan. Pemadaman lampu ini dijaga ketat oleh para seinendan dan keybodan yang bertugas dengan beringas. Pendudukpun tak dapat berbuat apa-apa, hanya kasihan bagi yang mempunyai anak kecil. Dapatnya hanya menghidupkan sinar lampu kecil yang diselubungi dengan kurungan rinjing atau kertas agar sinarnya tidak nampak dari luar. Rasa takut dan rasa benci terhadap tentara Jepang semakin tebal pada dada rakyat kecil.

Minggu, 10 Januari 2010

Dolanan & Olahraga Jadul

Semakin banyak pertumbuhan onderneming atau perkebunan dan industri serta perdagangan, ditambah lagi pekerjaan administrasi pada kantor-kantor pemerintah kolonial Belanda, maka sangat banyak membutuhkan tenaga yang memiliki kecakapan baca tulis dan hitung. Para sinyo (pemuda) bangsa Belanda jarang yang mau bekerja sebagai karyawan pabrik atau perkebunan. Juga untuk mengurus daerah tingkat desa juga harus dikelola mengenai data kependudukan dan aspek-aspek kehidupan lainnya, yang membutuhkan warga pribumi pula.
Sejalan dengan politik balas budi dalam bidang edukasi atau pendidikan. Maka pemerintah kolonial Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah. Semula mendirikan sekolah rakyat sampai kelas V, dimana di kelas IV dan V diajarkan bahasa Belanda. Di wilayah asistenan Patikraja SR V yang ada baru di Rawalo dan Notog saja. Muridnya baru dari kalangan anak-anak pamong desa dan para priyayi pribumi serta kerabat pamong desa yang mampu. Tamatan kelas V umumnya dipekerjakan atau menjadi pegawai Belanda di tingkat asistenan atau tingkat kabupaten, yang jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan tenaga kerja yang diharapkan. Untuk itulah
pemerintah kolonial tfelanda membuka sekolah didesa- desa yang hanya sampai kelas III. Tamatan dari sekolah desa ini dijadikan pegawai desa sebagai carik, tukang ukur dan mandor perkebunan. Sekolah rakyat yang kelas V biasa disebut sekolah angka dua.
Sekolah rakyat kelas III yang berada di desa disebut sekolah desa. Yang ada sekolah desa ialah : Patikraja. Sidabowa, Pegalongan, Kedungwuluh Kidul, Sawangan, Teluk saja. Lain desa belum semuanya ada. Muridnya dicari secara aktif yang dilakukan oleh
pamong desa setempat. Umumnya anak-anak desa tidak mau bersekolah, karena segan atau takut kepada orang Belanda dan lagi umumnya membantu pekerjaan orang tua sehari-harinya. Ada yang menggembala ternak, mencari kayu bakar, merumput,
mengasuh adik-adiknya sementara orang tuanya bekerja di sawah atau mencari nafkah lainnya.
Karena keuletan para pamong desa dengan cara yang menarik, antara lain segala alat tulis menulis akan diberi misalnya sabak yaitu alat untuk ditulisi dibuat dari batu yang tipis berbingkai selebar 44 x 60 cm, dan grip yaitu alat untuk menulis pengganti pensil dibuat dari batu pula. Kebetulan setiap tahun ajaran baru jatuh pada bulan Syawal sehabis hari raya Idul Fitri tadi. Sehingga anak-anak yang berumur diatas 6 th bisa sekolah dengan berbusana lengkap. Anak laki-laki memakai jas atau baju cina bercelana kolor pendek. Kepalanya dicukur gundul. Dengan motifasi kepala gundul apalagi dahinya mengkilap menandakan bahwa anak/murid tadi anak cerdas atau pandai di kelasnya. Bagi anak wanita mengenakan kain setinggi lutut bagi yang masih kecil dan setinggi mata kaki bagi yang dewasa, berbaju kebaya bagi gadis dewasa dan kebaya kuthung bagi yang masih kecil.
Kenyataannya yang mau sekolah hanya mereka yang mempunyai rasa malu, yaitu mereka yang harus mengenakan baju dan kain.celana. Untuk memudahkan cara mengharuskan anak-anak masuk sekolah. Ada cara unik. Yaitu apabila seorang anak , sudah dapat menggapai sampai ujung daun telinga sebelah kiri dengan melingkarkan tangan kanannya di atas kepala, menandakan bahwa anak tersebut sudah masanya masuk sekolah.
Bagi yang mampu banyak yang melanjutkam sekolahnya ke Purwokerto kebanyakan masuk ke sekolah swasta. Karena sekolah Belanda tidak mudah memasukkan anak-anak dari kalangan rakyat biasa. Setidaknya harus anak-anak pegawai Belanda atau anak Asistenan dan anak para Mantri, yaitu orang pribumi yang bekerja pada Kantor Pemerintah.
Di Purwokerto baru ada sekolah untuk sinyo-sinyo Belanda yaitu HS (sekolah rendah Belanda), MULO setara dengan SMP untuk sinyo-sinyo dan Normal School yaitu Sekolah Guru yang berasal dari SR ditambah 1 tahun lagi. VO (Vervoiles Ondeways) yaitu kursus guru kilat yang menamatkan Guru Bantu (guru Kwikling) dan OVO (diatas VO). Selain itu ada juga sekolah yang didirikan untuk anak-anak perempuan yang naik kelas 4 untuk diberi pelajaran kewanitaan sesuai dengan emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A Kartini, yaitu sekolah kartini
Dari tokoh pendidikan juga menyelenggarakan sekolah swasta untuk menampung minat anak-anak yang tidak dapat diterima pada sekolah Belanda antara lain Arjuna School (SLTP), Taman Dewasa, Mambaul ulum (setara dengan MadrasahTsanawiyah). Para pendahulu kita yang menuntut ilmu pada sekolah Belanda dan sekolah swasta hampir di setiap desa dalam wilayah Asistenan Patikraja ada tokoh-tokoh, antara lain
1. Dari kalangan pendidik/guru
Desa Notog :
Bpk. Sukardi Joyowidagdo pensiun zaman Belanda.
Bpk. Kesruh gugur pada Perang Kemerdekaan 1948.
Bpk. Arwan pensiun tahun 1950.
Bpk. Mingan tokoh Muhammadiyah pension 1960.
Desa Patikraja :
Ibu Sarinah pensiun tahun 1950.
Bpk Atam pensiun tahun 1969.
Ibu Rikem pensiun tahun 1965
Desa Pegalongan :
Bpk. Nilam pensiun tahun 1946.
Bpk. Rus Atmosuwito pensiun tahun 1961.
Bpk. Raslam tokoh politik.
Bpk. Kartam.
Bpk. Wartam.
Bpk. Sahir Wongsomiharjo
Desa Sokawera :
Bpk. Nursam.
Desa Kedungrandu :
Bpk. Mohamad
Bpk. Diran pensiun tahun 1960.
Bpk. Tiswan pensiun tahun 1959.
Desa Sidabowa :
Bpk. Kaswadi seangkatan dengan Bpk Sukardi
Bpk. H. Samsi.
Bpk. Diro Sepuh.
Desa Karanganyar :
Bpk. Kiswan pensiun tahun 1959.
Desa Sawangan :
Bpk Nirkam pensiun tahun 1949.
SR V dan SR III berada dalam daereh Onder Distrik Patikraja termasuk dalam Distrik Banyumas, di bawah pengawasan School Opsiner (Pengawas Sekolah).
2. Dari kalangan Pegawai kolonial Belanda.
Desa Notog :
Bpk. Harjowarsono, Kepala Kantor Pajak Tanah (Landrete).
Bpk. Kastudjan Harjosewoyo Mantri Ukur Landrete.
Bpk. Sukirwan Masinis KA Kl. I pada KA SS.
Bpk. Sangid Sastrorejo Kondektur SDS.
Bpk. Kidam Wiryosumarto Kondektur SDS.
Bpk. R. Siswowardoyo, Mantri Ukur Landrete.
Bp. Parman Rejosuwito Breden Asistenan pensiun tahun 1955.
Bpk. M. Sena Asistenan Wedana Belanda tahun 1947 - 1950.
Bpk. Wiryoharsono Klerek Asistenan pensiun tahun 1954.
Bpk. Ronomiharjo Kepala Pegadaian pensiun tahun 1954. Desa Patikraja :
Bpk. Tirtadimeja, Pegawai kehutanan (Boswesen).
Bpk. Wiryoatmojo, Carik Desa.
Bpk. Wiryosukarto Sekater Pegadaian.
Bpk.Salamun agen Bank BRI
Desa Pegalongan :
Bpk Kartoatmojo Kondektur SDS.
Desa Kedungrandu :
Bpk. Ranameja Pengawas Rel Keretapi SDS (Bandsekower)
Bpk. Singawireja Serdadu Kompeni.
Bpk. Muryana Opas Pabrik Tebu.
3. Dari kalangan Polisi dan Militer :
Desa Notog :
Bpk. Kisworo Eks. Komandan Kodim dan Ketua DPRD Bms.
Bpk. H. Kartosuwarno Eks Mayor Purn (Juru Potret Istana).
Bpk. Daryo Eks Lettu, pensiun Dinas PDK Prop. Jateng.
Bpk. Munandar Peltu Purn. Saksi sejarah pertempuran 10 November
1945 Sektor Wonokromo Surabaya.
Bpk. Dirwoto Kapt. Purn. Kesdam Diponegoro.
Bpk. Talim Eks Heiho.
Bpk. Ranusumarto Agen Polisi Purn pensiun tahun 1960
Desa Patikraja :
Bpk. Masngud Suwandi Veteran RI, Eks. Tentara Heiho.
Bpk. Mayor Purn Suwargo Eks PETA.
Bpk. Nasan Purn. Polri. Bpk. Supeno Eks Kadet AL, Purn Polri.
Bpk. Aksan Purn Polri. Bpk. Tejo Suparyo Lettu Purn.
Bpk. Saman Eks Heiho/PETA.
Bpk. Sarjo Angkatan 45 gugur di Tumiyang Desa
Kedungwuluh Kidul :
Bpk. Mohamad Bahrun Brigjen Purn. Eks. Dan. Div. IV Diponegoro. Bpk. Mayoor Taram.
Bpk. Tarsam Hadisudamo Eks Heiho di Birms
Desa Sawangan :
Bpk. Tukiman Kapolsek Pertama di Patikraja.
Selain nama-nama tokoh tersebut tadi kemungkinan besar masih ada yang belum tercantum : Pertama untuk mencari keluarga almarhum kebanyakan berada di luar daerah. Yang kedua mungkin terdapat pada Lampiran Nama Veteran di halaman tersendiri
Dalam bidang kesenian pada zaman kolonial belum masuk budaya kesenian dari luar negri dan daerah lain. Kesenian yang ada adalah kesenian rakyat atau kesenian tradisional Banyumas asIi. Contohnya instrumen gamelan Jawa yang masih sangat sederhana hanya
bernada gamelan Laras Slendro yang terdiri dari peking, kendhang dan ketipung, satu gender barung, bonang barung dan bonang penerus, kethuk kenong sepasang serta sebuah kempul dan gong suwukan saja. Lagu atau gendingnya masih sangat terbatas. Misalnya lagu-lagu dolanan anak-anak Banyumas, gending Cebowo, Kulu-kulu, Ricik-
ricik, Eling-eling, dan yang agak halus yaitu gending Randa nunut atau Renggong Manis, serta Gungsari Kalibagoran saja.
Beberapa kesenian yang bernafaskan Islam antar lain slawatan dan genjringan. Genjringan sampai sekarang masih bertahan bahkan makin berkembang sebagai lagu-lagu populer dengan masuknya keyboard dan instrumen lainnya. Namun kelestarian Slawatan atau Trebangan sudah jarang dipentaskan.
Slawatan atau Trebangan menggunakan alat musik trebang besar, bedug, serta trebang sedang dan kecil. Iramanya sangat slow, serta syahdu. Syairnya ayat-ayat Al Qur'an dan do'a-do'a. Kesenian trebangan atau slawatan dilaksanakan pada malam hari di mulai sehabis sholat Isya sampai menjelang Subuh. Pada umumnya diadakan pada hari-hari peringatan Agama Islam. Para ulama belum berani berda'wah secara terbuka karena takut kepada Kolonial Belanda.
Peserta semua laki-laki jumlahnya sampai 15 orang. Cara memainkan trebangan bergantian, sedangkan yang lain meramaikan dengan menyair secara bersama. Bila trebangan sudah menjadi, nada-nada alunan suara syair makin meninggi, yang disebut ngelik. Bagi yang mendengarkan dengan rasa kenikmatan, sungguh sangat merasuk ke dalam lubuk hati, terasa sangat mendekatkan antara kita dengan Yang Maha Pencipta terbawa oleh kesungguhan para penyair yang sampai-sampai berkeringat pada wajahnya. Tidak jarang para pemain sampai mengeluarkan air mata karena sangat nikmatnya.
Alat musik trebang ini juga dimanfaatkan oleh fakir miskin, sebagai sarana untuk mengemis ke kampung-kampung yang disebut mbarang kentrung, pengemis ini hanya sendirian saja.
Alat musik lainnya yaitu calung, terdiri dari bahan bambu yang dibentuk berderet dengan ikatan gantungan pada lengkungan bumbu sebagai alasnya. Bernada slensro dari wilah (nada) 1; 2; 3; 4 ; 5; 6; 1. Ada 5 buah peralatan calung; kendang ketipung, gambang barung; gambang penerus; kempul; dan gong bambu (gong bumbung) yang bersuara menggema kalau dihembus dengan mulut.
Pemain putri dari rombongan calung ini disebut lengger. Dia menari dan menyanyi, syairnya berisi pantun-pantun jenaka dan pada umumnya bernada humor-humor percintaan, atau teguran-teguran yang bersifat mendidik.
Selain yang tersebut diatas masih ada kesenian di sebut lengger. Instrumennya terdiri dari bonang barung, bonang penerus yang dibuat dari besi pipih pada tengah-tengahnya, saron peking, demung, kenong dari besi,. pipih pula, gong enggang-enggang juga dari besi pipih berbenjol ditengahnya yang diikatkan pada kotak sebelah atas terdiri dari 2 kotak. Satu kotak berisi gong-gong suwukan satu lempeng, satunya lagi kempul dengan dua lempeng.
Kesenian lengger ini agak halus daripada calung. Biasa dimainkan dalam acara khajatan atau keramaian desa. Orang-orang kaya atau para pegawai Belanda sangat suka dengan lengger ini yang juga disebut tayuban. Bila pentas banyak kaum pria yang berjoget menari berpasangan dengan tandak (penari wanita) secara bergantian. Setiap tayuban tentu diasyikan dengan tarian pasangan ini sebagai kebanggan tersendiri dari para amtenar (pegawai Belanda) tadi.
Untuk pergelaran wayang kulit juga digunakan sebagai media hiburan penduduk desa. Warga yang mampu tak segan-segan "Wayangan" sebagai kebanggaan bila mengadakan khajatan, baik pernikahan, khitanan, mencukur/memotong rambut orokpun diadakan wayangan. Bahkan bila "rnenindik" membuat lubang pada daun telinga anak wanitapun diadakan khajatan dengan wayangan.
Kesenian-kesenian tadi merupakan satu-satunya hiburan bagi masyarakat pedesaan yang pementasannya memang jarang, karena tergantung dari musim panen atau msuim paceklik yang setiap tahum selalu bergantian.
Pertunjukan kuda lumping yang disebut ebeg juga sudah menjadi tontonan tetap dimusim kemarau, sebagai hiburan yang merangsang para pemuda karena akting-aktingnya penuh dengan pertunjukkan tenaga dalam dan kekuatan magic.
Alat musik/kesenian mekanik yang ada baru gramafon yang bagi orang desa disebut Orgel. Piringan hitamnya buatan Belanda dengan iram lagu-lagu Barat, menyusul lagu-lagu keroncong, kemudian dengan berdirinya pabrik piringan hitam Lokananta beredarlah piringan hitam yang bersuara gamelan jawa, bahkan kemudian cerita kethoprak menceritakan damarwulan ataupun Raden Panji Asmara Bangun babad Kediri. Ini hanya dimiliki oleh orang kaya ataupun para Amtenar dan Kepala Desapun bila mampu, karena harganya mahal.
Sebelum masuknya permainan olahraga dari luar negeri, pada zaman ini penduduk pedesaan sudah mempunyai jenis oiahraga tradisional yaitu
• Olahraga keras: Ujungan semacam adu kekuatan antar perorangan atau warga antar kampung mencari juara pendekar atau orang kuat, dengan cara masing-masing memegang jambuk sebagai alat untuk berkelahi saling mencambuk lawan dari batas dada sampai ke kaki. Dengan akibat saling dendam di antara pemain yang kalah,
maka ujungan ini berubah menjadi perseteruan antar kelompok atau perorangan yang mengakibatkan pertarungan tidak sehat, sering menimbulkan korban dari salah seorang pegulat, sehingga oleh Pemerintah Kolonial Belanda ujungan kemudian dilarang
• Di kalangan remaja dan anak-anak ada adu ketangkasan yang disebut embik-embikan yaitu mereka bergulat satu lawan satu sampai saling menindih lawan dan barang siapa yang sudah merasa kalah harus bersuara menirukan bunyi binatang kambing "embik" tandanya menyerah.
• Ada lagi permainan keras yang disebut binteyan, yaitu saling menendang kaki lawan di daerah tulang kering sekeras-kerasnya, bila kalah harus menyerah secara sportif. Embik-embikan dan binteyan biasa dilakukan dilapangan atau diladang tempat anak-anak menggembalakan ternaknya.
• Dalam olahraga dikenal permainan gandon bagi anak lelaki dan pandean bagi anak wanita. Aturan dan materi permainan gandon adalah sebagai berikut:
a. Pemain terdiri dari 2 atau 3 pasang yang saling bersaing.
b. Alat permainan yang digunakan adalah masing-masing pemain memiliki sebuah batu bulat telur sebesar martil (besi martil untuk lempar martil). Batu ini disebut gaco.
c. Di arena diberi garis batas pelempar dengan jarak ± 3 atau 4 meter berderet ke belakang.batu pipih ± ukuran 25 cm merupakan sasaran pelemparan, sejumlah pasangan yang bermain.
Cara/teknik bermain :
Partai pemain membidikan gaconya ke sasaran batu pasangan dengan cara menggunakan kaki, yaitu gaco ditaruh diatas ujung kaki di atas jari-jari kaki, kemudian dengan melangkah 2 kali diarahkan kesasaran dan dilepas sekuat tenaga agar batu pasangan itu terpental. Andaikata pemain tidak berhasil memidiknya mereka kena hukuman. Hukumannya adalah, gaco pemain yang sial tadi "diandul" dengan cara gaco ditaruh diatas jari-jari kaki, dibawa pergi sesuka hati oleh partai pemasang dengan jalan engklek (kaki satu) melalui rintangan lompat parit, berputar-putar atau memanjat pohon sesuka hatinya. Bila dalam perjalanan andul iti^ gaconya jatuh. berarti partai pemain ganti melakukan perjalanan andul yaitu napak tilas mengikuti arah balik perjalanan engklek andul menirukan dan mengikuti arah sewaktu diandul kembali ke arena gandon, dan harus membidik batu pasangan setelah sampai ke tempat. Kalau ditengah perjalanan gaconya jatuh, mereka dinyatakan kalah dan harus bergantian main.
• Permainan pandean agak berbeda dengan gandon. Yang sama hanya pada waktu kena hukuman yaitu dengan cara andul. Peraturan main pandean adalah sebagai berikut:
Pasangan pemain sama dengan permainan gandon, begitu pula arenanya, deretan pasangan batu sasaran berjejer ke samping.
Cara/teknik permainan:
a. Partai pemain melempar gaconya diarahkan dekat dengan batu pasangan. Kemudian pemain membidik batu pasangan dengan tangan melalui belakang pantat dengan sela-sela kaki setengah jongkok.
b. Bila batu sasaran tidak terpental dan masih roboh di garis pasangan ata» tidak mengena sama sekali, pemain terkena hukuman diandul caranya sama dengan andul dalam permainan gandon.
c. Kalah dan menang sama dengan penentuan pada permainan gandon juga kedua permainan gandon tadi dilakukan oleh para remaja sampai dewasa.
Bagi anak-anak ada lagi permainan siguk, yaitu mengadu batu pipih.
Cara/teknik permainan:
a. Pemain melemparkan batu gaco pipih sebesar kulit jengkol, ke arah batu gaco lawan dengan jarak lempar 3 atau 4 meter, jatuhnya jangan sampai kurang dari 3 telapak kaki dekat dengan gaco lawan.
b. Bila jatuhnya tak melanggar atau masuk lingkaran 3 telapak kaki tadi, pemain mulai mendekatkan ke arah gaco lawan dengan cara menggeser-geser dengan sentuhan ujung kaki sebelah dalam 2 kali hingga akhirnya dekat betul.
c. Kemudian di siguk sekeras-kerasnya dengan ujung jari kaki hingga terpental jauh mendekati garis lemparan .
d. Bila hasil sigukan tadi melampaui garis batas lemparan dinyatakan menang, tetapi sebaliknya jika jatuhnya gaco pemain masuk dalam radius 3 telapak kaki. pemain lawan berhak menghalau gaco tadi dengan menyiguk jauh-jauh agar sukar untuk mendekatkan gaco pemain untuk menuju gaco lawan.
Satu lagi permainan ringan yang biasa dilakukan anak-anak penggembala yaitu permainan gatik. Peralatannya hanya ranting atau bilah kayu pendek ukuran 20 cm dan bilah panjang 5 X panjang bilah gatik (anak gatik), dan lubang sedalam 3 atau 4 cm untuk tempat pemasangan anak gatik.
Cara/teknik permainan:
a. Anak gatik dipasang miring dalam lubang tanah.
b. Kemudian ujung anak gatik dipukul sekeras-kerasnya dengan bilah panjang tadi, sehingga terpelanting dan berputar-putar di udara.
c. Pemain harus dengan cekatan memukul anak gatik yang berputar/melayang tadi.
d. Dari jatuhnya anak gatik tadi diukur dengan bilah yang panjang, hasilnya berapa kali panjang gatik itu.
e. Jumlah ukuran bilah panjang menentukan angka kemenangan/perolehan pemain. & Pada akhir pennainan setiap istirahat, dihitung perolehannya dan bagi yang perolehannya paling banyak itulah sebagai pemenangnya.
Permainan gasing dan gundu (kelereng) sudah dikenal anak-anak, tetapi permainan kelereng hanya dinikmati oleh anak-anak dari mereka yang berduit saja, Di waktu malam had apalagi bila terang bulan, para remaja dan anak-anak juga bermain, umumnya sehabis waktu mengaji. Anak remaja putra-putri bermain gobag dan jethungan.
Permainan gobag memang sangat memeras keringat, karena selain memerlukan kecekatan juga untuk berlari cepat pada jalur/garis batas . Arena gobag biasanya di jalan-jalan kampung atau di tanah lapang. Tempat bermain tadi dibuatkan garis membujursepanjang kira-kira 6 atau 8 meter, garis melintang membagi garis membujur (garis sodor) menjadi 3 atau 4 bagian masing-masing @ 2 meter sebagai tempat bebas pemain.
Teknik permainan:
a. Setiap garis dijaga oleh seorang pemain yang kebetulan sebagai kelompok pemburu pemain lawan.
b. Mereka berada di garis memanjang untuk menghalangi penyeberangan antar petak dari lawan bermain.
c. Tugas penjaga garis membujur ialah SODOR sangat berat karena harus mengintai setiap lawan yang akan melintasi garis sodor harus ditangkap atau disentuh pada jarak 1 lengan dari garis sodor.
d. Lawan dinyatakan menang bila selama dalam menyeberang silang antara tempat bebas, tak ada seorangpun yang tertangkap atau tersentuh pihak lawan (penjaga garis), dan berhasil pindah-pindah tempat bebas dari salah satu ujung awal sampai ujung akhir tempat bebas.
Permainan jethungan adalah dengan cara undian dengan jalan hong-ping-pah atau ping sut (adu buka tutup jari-jari tangan), siapa yang paling kalah dinyatakan sebagai pencari lawan.
Teknik Permainan:
a. Seorang yang kalah undian sebgai pencari, matanya ditutup dan teman yang lain semuanya bersembunyi.
b. Setelah mendengar tanda panggilan, si pencari mulai membuka mata dan berusaha mencari lawan dengan menangkapnya.
c. Si pemain harus menghindar dan bedari menuju tempat yang bertanda tongkat pengaman (istilahnya hong
d. Bila si pemain sampai tertangkap, menggantikan sebagai pemburu, begitu seterusnya,
Olah raga sepak bola sudah dikenal oleh masyarakat desa sejak dulu, tetapi belum diterapkan secara benar/sesuai aturan yang ada, hal ini dikarenakan sarana tanah lapang belum ada di setiap desa kecuali di desa Notog yang kebetulan memakai tanah lapang milik PJKA. Permainan sepak bola di desa-desa menggunakan tanah lapang seadanya dan memakai bola kaki dari ikatan rumput, jerami atau buah jeruk yang dibalut dengan karung atau kain-kain bekas asalkan dapat ditendang dan masih menggunakan kaki telanjang, belum menggunakan sepatu bola, karena baik bola maupun sepatunya belum mampu membelinya.
Pengembangan permainan sepak bola dilakukan oleh para pelajar sekolah lanjutan dari sekolahnya. Para pelopor olah raga sepak bola dari desa Notog adalah : Bp. Siswo dari Kalirajut, Bp. Slamet dibawah asuhan Tuan Eyer. Kemudian berturut-turut terdapat nama-nama: Suwarno, Dirwoto, Daryoto, Sumiyarso, Mangsud Masiarjo, Suparno, dan lam-lain. Dari lain desa ada juga yang datang ke Notog untuk bermain bersama antara lain: Suwargo Patikraja, Sutoyo Sidabowa, Sarwono dari Patikraja. Mereka ini dapat dikatakan sebagai para pendahulu atau pelopor sepak bola yang gigih. Mereka sudah sering bertanding ke luar daerah sampai ke Gombong, Cilacap, Purbalingga, dan Wonosobo. .
BoIa sepak atau bola kaki jaman sebelumnya menggunakan bahan dari belulang atau kalep bahan sepatu yang dibentuk bulat dengan cara dijahit. Belulang tadi adalah bagian luar. Sedangkan bagian dalam adalah bola karet atau bleter yang mempunyai lubang/buluh untuk memasukkan udara yang dipompa sampai cukup keras, kemudian pada mulut bola luar diikat seperti mengikat tali sepatu. Agar bola tadi tahan air harus dilelet dengan lilin pada setiap jahitannya. Olah raga yang lain belum memasyarakat di jaman ini.
Organisasi masa yang ada baru dari organisasi agama Muhammadiyah dan organisasi pemuda yaitu Pandu HW (Hisbul Waton). Tokoh pendiri Muhammadiyah adalah Bapak Mingan dari Notog. Kedua organisasi ini hanya bergerak dalam usaha pembaharuan agama dan penanaman rasa nasionalisme kepada pemudanya lewat kepanduan saja.

Kondisi Sosial Ekonomi Patikraja Jaman Belanda

Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan badan dan kesehatan lingkungan sangat ketinggalan. Angka kelahiran tinggi, sedangkan kematian bayi dan balita juga besar. Banyak keluarga yang beranak sampai 10 bahkan 12 orang, yang bisa berumur panjang hanya 1 atau 2 dan 3 orang saja. Jarak kelahiran sangat pendek sekali, hanya selang satu tahun atau satu setengah tahun. Banyak kawin muda (kawin di bawah umur) banyak lelaki berisitri lebih dari seorang.
Bagi yang mampu taraf ekonominya dan para perangkat desa umumnya anak-anak mereka bisa berumur panjang sampai dewasa dan mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat karena menjadi pegawai. Rumah-rumah mereka sudah banyak yang memenuhi syarat kesehatan dan konsumsi makanannyapun sudah agak meningkat, tidak saja sayuran dan hasil bumi, tetapi ikan, daging ikan laut yang harganya mahal disamping makanan-makanan kaleng seperti layaknya warga Belanda.
Masyarakat miskin maksimal menyantap makan hanya dengan ikan asin atau gesek/gereh. Itupun pengganti hanya garam dapur dan sayur bening saja setiap makan dan juga lalapan atau urapan daun-daun ketela, daun pepaya, daun kecipir dan daun lembayung. Bagi masyarakat yang mendiami daerah aliran sungai ataupun irigasi umumnya pandai mencari ikan. Ada yang dengan cara mancing, menjala, merogoh di sela-sela bebatuan, nener, nyeser sampai menjaring dengan cara beramai-ramai 4 sampai 5 orang satu jaring. Ada lagi cara mencari ikan secara besar-besaran yangdisebut bududan. Caranya kali di musim kemarau karena alirannya kecil di bendung dengan batu-batuan dan dipadatkan dengan rerumputan/jerami. Bendungan yang dibuat menyerong ke hilir. Pada ujung sebelah hilir bendungan dipasang bubu-bubu besar dari anyaman bambu, ikan-ikan terbawa masuk dan sulit untuk kehiar dari bubu perangkap.
Untuk mencari udang dibuatlah rumpon yaitu tumpukan batu-batu kecil berderet-deret sepanjang sungai di musim kemarau. Rumpon tadi dibiarkan selama 4 atau 5 hari saja. Bila sudah tertimbun tumbuhan lumut baru di buka dengan cara, bubu agak lebar dengan garis tengah 50 cm dipasang di bagian bawah rumpon terlebih dahulu bubu diisi batu-batuan sampai penuh, kemudian baru dipasang miring mwnghadap ke arah hulu. Rumpon dibongkar dari arah hulu pelan-pelan agar udang yang telah masuk ke sela-sela sisa rumpon dan akhirnya masuk kedalam bubu.
Kebutuhan air untuk memasak, mencuci dan mandi masih air alami yaitu air sungai yang masih jernih, air dari sumber mata air, air penampungan pada kolam-kolam tepian desa dari air pegunungan yang meli-mpah. Dalam rumah tangga masih jarang yang memiliki sumur galian. Bila ada keamanannya kurang diperhatikan. Pagar pelindung lubang sumur hanya dibuat dari anyaman bambu atau tumbuh-tumbuhan sejenis perdu. Mereka belum mengenal timba dan kerekan. Yang digunakan untuk mengangkat air dari dalam sumur di sebut senggot yang peralatannya pintalan bambu muda untuk talinya, sebatang bambu yang lurus serta batang pohon sebagai penyangga katrol bambu. Embernya menggunakan beliung, yaitu pelepah daun jambe yang diikat pada dua ujung pangkalnya sepanjang kira-kira 40 cm membentuk cekungan. Pada kedua ikatan diberi kayu atau bambu pegangan, kemudian diikatkan pada ujung tali senggot.
Tempat menampung air menggunakan telompak yang dibuat dari batang kayu lebar 40 cm panjang 75 cm, menyerupai lesung kecil. Telompak selain digunakan untuk penampungan airuntuk mencuci juga digunakan untuk "kungkum" atau merendam diri bagi anak laki-laki bila akan dikhitankan.
Alat membawa air dari sumur atau mata air menggunakan lodong yaitu 3 atau 5 ruas bambu yang tengahnya dilubangi. Lodong yang kecil namanya kokok dan tempurung kelapa juga bisa untuk membawa air adapun namanya beruk atau kuthuk. Masyarakat pedesaan belum menggunakan sarana air minum dari seng atau aluminium. Karena selain harganya mahal, bila membeli harus kekota.
Cara berpakaian pada zaman ini masih sangats ederhana. Para wanita setiap harinya hanya mengenakan kutang atau BH lebar untuk sekedar menutupi aurat bagian dada. Pakaian bawah mengenakan kain tenun atau kain batik pasar. Bagi kaum laki-laki hanya menutup aurat menggunakan kain tenun yang disebut LANCING, kemana mereka bepergian selalu lancingan dengan berbaju Cina, karena membelinya kepada pedagang Cina. Biasanya berwarna putih. Istilahnya "baju Kelang". Anak-anak dibawah umL>fkebanyakan bugil sampai berumur menjelang khitan baru mengenakan celana yang disebut "kathok kodokan" karena celana itu menyerupai bentuk badan katak yang menutupi bagian badan saja dari batas pangkal paha ke atas sampai pada ketiak saja.
Kaum piyayi dan keluarganya sudah agak baik cara berdandan. Wanitanya menggunakan kain batik dan kebaya model kartini. Kaum laki-laki mengenakan bebed yaitu kain batik halus, berjas dan ikat kepala, bisa blangkon ataupun iket atau destar. Bahkan para priyayi masih dilengkapi dengan topi gabus warna putih. Mereka-merekalah yang akhirnya sebagai Pegawai Pemerintah yang siap untuk terjun di bidang politik yang dimotivasi oleh Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, Dr. Sutomo, dan Dr. Wahidin Sudiro Husoso. Mereka membuat jaringan pergerakan di bawah tanah, sebagai cikal bakal tumbuhnya Kesadaran dan Semangat Nasional.
Diantara pejuang, dari desa Notog ada yang menjadi Sekretaris Budi Oetomo. Beliau adalah almarhum Penatus Suparno Suryosuprojo, seangkatan dengan almarhum Dokter Angka Purwokerto. Setelah meninggal tenyata almarhum ini mempunyai gelar penghargaan dari pemerintah RI berupa gelar pahlawan "Perintis Kemerdekaan" dan mendapat tunjangan hari tua.
Keterbelakangan pengetahuan kesehatan mengakibatkan timbul penyakit masyarakat. Pertama rumah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan juga karena kebersihan lingkungan yang kurang dimengerti dampaknya. Sebagai contoh. buangan air limbah dapur tidak dibuatkan septi tank atau penampung tertutup. Air limbah dibiarkan menggenang di belakang rumah. Buang hajat cukup di sungai, dan bagi yang jauh dari aliran sungai hanya membuat lubang yang ditutup dengan potongan-potongan bambu. Lubang tempat jongkok selalu terbuka tak ada tutupnya. Ini menjadi sarang lalat dan baunyupun tak sedap.
Bagi yang memelihara ikan ikan dikolam, air kolam digunakan untuk mencuci gerabah, mencuci beras dan sayuran, bahkan oleh para santri digunakan untuk mengambil air wudlujuga. Memang yang biasa memeliahara kola/^dalah para ulama yang mendirikan surau atau masjid, sehingga para santrinya dengan mudah memanfaatkan air kolam ikan untuk bersuci bahkan mandipun ada yang disitu.
Akibat dari keterbelakangan cara berpakaian. hal sanitasi dan kesehatan badan maka banyak penyakit yang di derita masyarakat. Penyakit yang menular di kala itu adalah: malaria yang oleh masyarakat disebut "panas-tis", campak atau cacar yang biasanya di derita oleh anak-anak, kusta atau lepra, gatal-gatal, bisul atau wudun, koreng semacam luka yang terinfeksi dan borok yaitu luka terinfeksi yang membusuk dan melebar lagi berbau pula. Penyakit cangkrang semacam bisul yang bernanah di seluruh jari tangan, di ketiak dan di pangkal paha.
Penderita sakit malaria hanya diobati secara tradisional. Cukup dengan minum air bratawali yang sungguh pahit rasanya, atau makan daun pepaya. Luka karena senjata tajam atau kaena akibat jatuh hanya ditutup dengan lumatan daun petai cina atau daun bandhotan. Luka-luka kecil hanya di balut dengan kulit batang lumbu saja. Bagi penderita penyakit kuli "cukup dibersihkan dengan cara di rendam atau merendam pada air garam, kenudian dioles dengan lumatan beras kencur ditambah buah asam. Kalau dilulurkan kepada si penderita rasanya sangat panas dan pedih.
Penderita penyakit campak hanya dimandikan dengan air cucian daging ayam kemudian dilulur dengan beras kencur saja. Penyakit koreng dan borok hanya diobati dengan ramuan-ramuan daun ketapang dan diberi belerang saja. Dan banyak lagi obat-obat tradisional yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit.
Lebih menyedihkan lagi ialah penyakit yang menimpa anak balita, seperti : Typus, Kolera dan Dysentri yang penyebab utamanya adalah makanan dan minuman yang terjangkit kuman dari kotoran-kotoran binatang. Sebagaimana dimaklumi, di caman itu hewan-hewan piaraan sangat banyak sejenisnya seperti : lembu, kerbau, ayam, itik bahkan anjing adapula yang memeliharanya.
Kotoran-kotoran binatang itu berceceran di mana-mana. Di jalan kampung, gang-gang, dan lorong. Cara membuat kandangpun sangat jorok. Umumnya berdekatan dengan rumah kediaman, bahkan ada yang serumah dengan pemiliknya hanya dibatasi dengan pagar pemisah saja. Kandang kuda, lembu atau kerbau yang jumlahnya lebih dari seekor di taruh di depan atau samping rumah.
Penempatan hewan piaraan yang demikian memang beralasan, yaitu soal keamanan. Sering terjadi pencurian hewan ternak di desa. Kotoran binatang itu jelas pembawa penyakit, terutama di musim kering sering terjadi wabah.
Angka kematian ini memang disebabkan oleh faktor kebersihan lingkungan. Tidak jarang kematian bayi selain faktor lingkungan juga karena banyak wanita yang kawin muda yang secara fisik belum siap untuk hamil dan melahirkan. Faktor lain disebabkan kurang pengetahuan para dukun beranak yang masih menggunakan cara tradisional. Bagi dukun beranak yang pandai dan selalu berhasil dalam merawat bayi
dan sang ibu, biasanya terlalu banyak pasien tanggungannya dari kalangan orang mampu, sehingga bagi yang kurang mampu bisanya minta tolong kepada dukun beranak seadanya.
Dari perawatan dukun beranak yang kurang keahliannya ini sering terjadi kecerobohan cara merawat bayi. Misalnya telinga bernanah akibat kemasukan air yang tidak diketahui. Bentuk tulang kaki yang melengkung keluar (o been) dan melengkung ke dalam (x been) adalah akibat bayi yang dibarut (diselimuti kain dengan ketat pada
seluruh badannya) terlalu ketat atau terlalu longgar membalutnya. Mata juling, rabun mata juga diakibatkan penerangan di waktu malam yang tidak normal sewaktu masih bayi masih belum tidur. Bayi sesak nafas akibat adanya asap kulit padi (merang) yang untuk perapian pengusir nyamuk setiap malam. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain tentang kelainan yang terjadi waktu persalinan.
Yang jelas masyarakat di kala itu belum mau berobat ke dokter atau rumah sakit dengan alasan masih ada dukun yang masih mampu mengobati segala penyakit, anehnya lagi mereka takut si suntik (diinjeksi) oleh mantri klinik ataupun di operasi dokter.
Bila suatu daerah atau desa timbul wabah penyakit, baru pemerintah kolonial mengirim petugas kesehatan dari kabupaten. Biasanya yang dikirim adalah : mantri malaria, mantri cacar, mantri kakus. Setiap pengiriman seorang mantri bilamana ada wabah penyakit yang sesuai dengan bidang masing-masing. Pada umumnya bayi lahir jarang yang diinjeksi virus anti cacar.
Untuk mengatasi bahaya paceklik di musim kemarau maka di desa-desa didirikan lumbung padi yang disebut lumbung desa. Bagi setiap penggarap sawah atau kulen diwajibkan menyetorkan sebagian kecil padinya untuk disimpan di lumbung. Bila musim paceklik tiba lumbung-lumbung tadi dibuka untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan, dengan aturan bila mengembalikan disertai bunga berupa padi juga sesuai dengan banyak sedikitnya pinjaman padi yang diterima. Setiap setoran dan pembukaan pinjaman selalu diawasi oleh seorang mantri lumbung.
Selain bahan makanan pokok berupa beras. pada zaman ini masyarakat juga mengkonsumsi gaplek, yaitu ubi kayu yang diawetkan dan beras jagung. Karbohidrat dari kedua jenis bahan makanan pokok ini sepadan dengan beras tumbuk,
Memproduksi beras dengan cara ditumbuk mengunakan lesung dan alu, biasanya dikerjakan oleh para wanita bersama-sama. Suara dari bunyi tumbukan padi itu bisa berirama indah sesuai dengan kemampuan para penumbuk padi, suara lesung yang berirama itu disebut kotekan Beras tumbuk banyak terjual di pasaran. Untuk beras giling yang dihasilkan oleh pabrik penggilingan padi biasanya dikirim ke daerah pemasaran lain.
Makanan kecil yang dijajakan dibuat dari hasil ubi warga. Ketela pohon, singkong, pati gelang (diambil dari pohon aren), umbi-umbian, kacang tanah, dan tepung beras. Ada lagi tepung pati sagu dibuat dari sejenis umbi-umbian yang namanya sagu angkrik. Dari ketela pohon dapat dibuat makanan: gethuk. puli. cimplung, gropak, tape. Dari pati gelang dan pati sagu dapat dibuat: ongol-ongol. krupuk, bubur gelang, cendol dawet. Dari tepung beras dapat dibuat: lapis, srabi. ampyang, leper, lemper, cendol dawet dan canthir. Dari kacang kedelai dapat dibuat tempe, tahu, kecap, dan touco. Dari kacang tanah dapat dibuat jipang kacang, enting-enting dan bumbu pecel.
Minuman yang dijajakan: dawet dari tepung beras yang diberi cairan gula kelapa dengan aroma harum daun pandan wangi tanpa air santan. Cam cau yang dibuat dari perasan daun cam cau, tuak yang dibuat dari air tape yang diawetkan atau nira kelapa yang diawetkan pula.
Masyarakat baru mengenal jenis makanan roti dari tapioka yang disebut roti dalia yang bentuknya seperti mahkota bunga dahlia. Roti dari terigu baru roti manis saja. Itupun jarang dibeli oleh masyarakat. Sebab dianggap roti manis adalah makanan orang Belanda. Untuk makanan balita biasa msyarakat menjajakan bubur dari tepung beras yang diberi cairan gula kelapa dengan menggunakan aroma daun pandan wangi, namanya bubur sungsum. Bila memberi makan bayi dan balita diberi makan lumatan nasi lemas dicampur pisang ambon atau hanya buah pisang ambon saja yang dihaluskan, bisa juga diberi tetesan madu asli. Bila balita buang air besar tidak normal dan mencair hanya diobati dengan cara diloloh (diminumi dengan paksa) dengan tumbukan ramuan daun jambu biji ditambah kunyit dan garam sedikit dicampur air.

Jumat, 08 Januari 2010

Milad 1 Abad Muhammadiyah PCM Patikraja




Perjalanan sejarah bangsa ini tidak bisa lepas dari perjalanan organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini telah ada sebelum negara ini ada. Organisasi Muhammadiyah turut mendirikan, membangun dan mewarnai mozaik indah bangsa Indonesia. Seabab sudah usia Muhammadiyah dengan berbagai peran yang telah ditorehkan yang hingga kini berbagai macam amal nyata masih dan semoga akan terus ada membangun umat dan bangsa ini menuju baldatun toyyibatun warobbun ghofur.

Dalam rangka menyemarakan seabad Muhammadiyah maka Pimpinan Cabang Muhammadiyah Patikraja telah menyelenggarakan berbagai kegiatan. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memacu kembali semangat untuk berkarya bagi warga dan simpatisam Muhammadiyah. Kegiatan yang telah diselenggarakan pada tanggal 14 Desember adalah lomba untuk siswa-siswi lembaga pendidikan Muhammadiyah. Kegiatannya berupa lomba menata bola bagi PAUD, lomba mewarnai bagi TK, lomba Praktek Sholat Berjamaah bagi siswa kelas rendah MI dan lomba Pildacil bagi MI tingkat atas. Selain itu pada tanggal 24 Desember 2009 bagi guru, warga dan remaja telah diselenggarakan lomba Desain alat peraga edukatif bagi guru Play Group dan TK dimana diikuti oleh semua PG & TK yang ada dan ternyata guru-guru PG & TK Aisiyah pada kreatif dan inovatif dalam mendesain alat peraga pendidikan. Berikutnya diselenggarakan pula lomba Pidato Religius bagi Seluruh guru dan karyawan hal tersebut dimaksudkan agar guru dan karyawan dapat meningkatkan kemampuan dalam berdakwah karena posisi strategis guru yang sekaligus sebagai dai. Untuk ibu-ibu diselenggarakan lomba merias tumpeng sebagai ungkapan rasa syukur dan juga untuk memberikan sajian bagi peserta lomba yang lain. Dan ternyata bagus dan menarik sekali lomba yang diikuti oleh seluruh perwakilan Pimpinan Ranting Aisyiyah di Kecamatan Patikraja. Sedang lomba bagi remaja adalah lomaba pembuatan mading dan tenis meja.

Sebagai puncak acara adalah pengajian akbar yang akan diselenggarakan pada tanggal 17 Januari 2010 bertempat di Gedung Dakwah yang baru setengah jadi. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan baik dan memotivasi warga untuk beramal dan melanjutkan dakwah dimasa yang akan datang.
Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter